Selasa, 07 April 2015

Pelajaran Wajib para Ibu

Apapun sifat kita, apabila kita seorang ibu dan wanita yang benar-benar mendalami peran kita dalam kehidupan dan mencintai keluarga, mau tidak mau kita tetap harus bergerak didalam siklus atau roda hidup yang sama dengan ibu-ibu lainnya yang sama dengan kita. Kenapa? Karena kita tidak bebas bergerak sesuai dengan apa yang kita mau, kita harus bergerak mengikuti kemana atau bagaimana supaya anak-anak kita bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

Apalagi kondisi saya yang adalah ibu dari 2 orang anak aktif tanpa pembantu...Saya dengan 'keras' harus memaksa diri untuk menyesuaikan, bukan mengatur, tapi menyesuaikan dengan anak-anak..demi mereka, karena mereka adalah masa depan kita.

1. Harus belajar hidup bersih.

Saya alergi debu, tapi saya malas dusting...buat saya selama debu tidak beterbangan, I'm still fine...tapi apa yang terjadi? setelah punya anak, lambat laun saya dipaksa harus rajin dusting...kalau tidak nanti anak saya ikutan alergi debu atau lebih parah lagi kena gangguan pernafasan? arghh..

2. Harus belajar sabar.

Saya orang yang gampang emosi...melihat segala sesuatu tidak sesuai dengan yang diperkirakan, apalagi 'kebodohan' yang tak perlu, emosi pasti naik...namun  lambat laun, kesabaran mau tak  mau juga messti dilatih..kita gak mau toh anak kita jadi ikut2an 'darah tinggi' kayak kita?

3. Harus belajar masak.

Anak pilih2, suka muntah, gak mau makan apapun selain masakan ibunya, apakah bisa betah dan gak bosan memutar2 menu yang itu2 saja tiap minggunya? mau gak mau juga harus buka resep, tanya sana sini, cari tau anak suka makan apa..no wonder koleksi buku terbanyak saat setelah punya anak adalah buku resep, itu belum ditambah dengan jumlah bacaan di internet..ckkckck.

4. Harus belajar tegar.

Nah yang ini nih...saya belum lulus ujian..kalau mau dinilai, nilai saya maksimal D...Selalu saja stress melihat anak sakit, jatuh, luka, nangis krn abis berantem, dll..apalagi 2 anak saya aktifnya minta ampun. Sampai sekarang ada 2 kejadian traumatis dalam hidup saya, yaitu melihat anak tertua saya jatuh dari ranjang dan tertimpa kardus berat kemudian mukanya bengap (read= memar sampai hidung kelihatan rata) dan melihat anak kedua saya jatuh dari tangga yang membuat dahinya robek dan harus dijahit dengan 6-7 jahitan di usia 1 thn 8 bulan..ketegaran saya diuji, dan terus terang saya belum lulus.

5. Harus belajar tegas.

Ini juga berat...betapa rasa sayang kepada anak membuat sulit untuk mendisiplinkan mereka kalau mereka berbuat salah...those cute little faces, those smiles, those tears...too adorable...untung saya punya suami yang agak 'kejam' sehingga mau gak mau, anak2 pun belajar disiplin-kalau tidak dari saya-ya dari papanya.

6. Harus "Ngotot".

Terus terang, suka salut dengan ibu-ibu lain yang dengan kekeh masukkan anak les ini itu, antar ikut kegiatan ini itu, apa ya mereka ngga capek? Mungkin suatu saat aku akan mengalami fase ini..semoga tidak harus..argahhhh..ini belum apa2 sudah mau melarikan diri saja.

Sudahlah...kesimpulan dari tulissan ini adalah: jadi ibu RT tanpa pembantu itu susah, capek, stress, penuh guilty feeling kalau ada apa2 sama anak....makanya ada yang bilang: "jangan mau jadi ibu RT" <-- jaman sekarang ibu RT di Indonesia rata2 punya pembantu cuci gosok berbenah saja masih banyak yang tidak mau jadi ibu RT [plus orang tua yang mau bantu menjaga cucu], apalagi ibu RT oshin macam diriku yang sendirian mengarungi samudera kekacauan?

Selasa, 17 Maret 2015

Dilema Ibu Indonesia dan Kurikulum Pendidikan

Sistem Pendidikan di Indonesia tidak memasukkan Playgroup atau "kelompok bermain" kedalam level pendidikan yang diwajibkan. Namun seturut dengan gelombang reformasi dan modernisasi, banyak ibu2 menyekolahkan anaknya tidak hanya dari playgroup namun juga dari toddler..bahkan tidak jarang anak umur 6 bln pun sudah disekolahkan.

Saya, sebagaimana ibu2 konservatif lainnya, memutuskan untuk memasukkan anak langsung ke TK begitu umurnya mencukupi. Tapi ketika bersekolah saya harus menghadapi kenyataan bahwa apa yang dituntut kepada anak dalam pendidikan dasar ini tidak sesuai dgn apa yang diberikan oleh sekolah.

Misalnya: untuk masuk ke jenjang SD, anak dituntut harus sudah bisa membaca, sementara di TK sangat kurang waktu untuk mengajar membaca..ini mengakibatkan kita sebagai ibu2 jadi sibuk memburu bimbel, ada juga yang sejak anaknya kecil buru2 menyekolahkan supaya anaknya pintar lebih cepat dan tidak tertinggal.

selama SD anak2 juga dijejali dengan pelajaran2 yang di luar batas umurnya sehingga, sekali lagi, ortu sibuk mencari les atau bimbel supaya anak2nya tidak tertinggal...

Pertanyaan saya sekarang...apakah jika ada anak pintar, yang membuat pintar adalah sekolah atau bimbel?
Jika ada sekolah unggulan, apakah sekolah itu yang bisa mendidik anak jadi pintar atau karena sekolah menerapkan seleksi ketat sehingga hanya murid sesuai standar intelektualnya yang bisa masuk?

Saya mengingat masa kecil saya dimana rasanya sekolah tidak menjadi beban, tapi suatu cita2..karena tidak ada test masuk, kita tidak dijejali dengan begitu banyak pelajaran2 yang tidak sesuai dengan umur, kita bisa menikmati hari2 senggang setelah sekolah untuk aktifitas sosial sesuai dengan minat kita..bukan Les seharian supaya tidak gagal UN seperti anak2 sekarang.

Akankah pemerintah kita sadar akan semua kekacauan sistem pendidikan kita sekarang? Akankah anakku bisa menikmati pendidikan yang menyenangkan seperti aku waktu dulu?

Kamis, 09 Januari 2014

"International" Kids

Pada suatu hari, aku kebetulan bertemu dengan seorang teman yang dulunya adalah dosen dan kemudian memutuskan untuk jadi ibu rumah tangga. Dia sedang jalan-jalan dengan anak satu2nya yang umurnya kala itu 4 thn. Dengan antusias aku mengajak ngobrol si anak:

Me: Halo, nama kamu siapa??saya Lina…

Anak: …. *terdiam dengan mata yang bingung

Ibunya: Darren, aunty’s asking your name.

Anak: Darren.

Me: Darren sekarang umur berapa?? Sudah sekolah ya?

Anak: … *terdiam dengan ekspresi yang sama

Ibunya: Darren, tell aunty how old are you now.

Anak: four years old.

Lalu dengan susah payah aku melanjutkan percakapan dan akhirnya karena waktu terbatas, kami pun berpisah.

Dua bulan berikutnya, aku bertemu dengan kerabat dan kebetulan dia pun membawa anaknya dengan umur yang kurang lebih sama dengan si Darren. Seperti sebelumnya, aku pun mencoba membuka pembicaraan dengan si anak (cewek) dan kali ini, si anak tidak hanya diam tapi pergi begitu saja ketika diajak ngobrol. Dalam obrolan dengan ibu si anak, si ibu dengan bangganya menceritakan kalau si anak disekolahkan di sekolah internasional yang berbahasa Inggris, sehingga kurang bisa berbahasa Indonesia dengan baik, dan kurang minat diajak bicara bahasa Indonesia karena lebih fasih berbahasa Inggris.

Beberapa minggu sesudah kejadian di atas, aku ngobrol dengan beberapa teman, dan mereka bilang bahwa anak-anak sekarang karena sekolah di sekolah Internasional, tidak mau merespon orang bicara dalam bahasa Indonesia karena memang didikannya seperti itu supaya fasih berbahasa Inggris sejak kecil. Terus terang aku kaget, apakah harus seperti itu?

Kemampuan berbahasa asing memang bagus kalau dididik sejak kecil, namun haruskah mengesampingkan etika dan norma kesopanan?

Kita ada di Indonesia, sudah sepatutnya bahasa Indonesia adalah bahasa percakapan yang umum dan wajib dipakai, bukan di Amerika, Inggris, Australia atau Negara manapun yang berbahasa Inggris.

Mengapa bangga dengan anak yang bisa berbahasa Inggris namun tidak sopan dan punya etika yang benar?

Apakah bangga dengan mindset bahasa ‘ibu’ ku terjajah oleh bahasa Inggris? Tidak heran bila generasi kita, Negara kita adalah generasi muda dan Negara yang terjajah di negeri sendiri..bahasa Indonesia terjajah oleh bahasa asing, kultur terjajah juga oleh kultur asing, dll sebagainya.

Lupakah dengan pepatah "dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung"?


Ingat Moms, kita lah yang berperan untuk membina generasi muda berkualitas..jangan sampai kita dikecohkan oleh kebanggaan semu berkedok ‘internasional’ dan melupakan fondasi karakter dan juga keimanan anak-anak kita.

Senin, 06 Januari 2014

KEJUJURAN YANG LANGKA

Mengapa sulit sekali untuk jujur..kepada diri sendiri bahwa inilah diriku apa adanya. Kepada orang lain, bahwa aku seperti ini. Mengapa aku melakukan ini dan itu...

Berapa banyak kita lihat dan dengar, di TV ataupun media lainnya, berita tentang perselisihan yang “di-setting” alias direncanakan untuk meningkatkan popularitas ataupun menggiring opini publik. Betapa banyak orang sengaja berbohong untuk menyelamatkan muka, melemparkan kesalahan kepada orang lain, ataupun hanya sekedar iseng.

Kebohongan sudah menjadi makanan sehari-hari karena berbohong sangat mudah..kebohongan kadang tidak memiliki arti, bahkan banyak diantara kita setuju dengan “white lies” yaitu berbohong dengan tujuan baik.

Mau sampai kapan kita mau hidup seperti ini? Menjadi orang yang bukan diri kita? Atau menerima diri apa adanya, melarikan diri dari tanggung jawab atau menerima konsekuensi dari perbuatan?

Sekecil apapun kebohongan, berbohong tetaplah dosa.


Sebaik apapun tujuan dari sebuah kebohongan, beban dari kebenaran akan terus menghantui untuk bersikap jujur.

Jumat, 03 Januari 2014

Keputusan Yang Tak Pernah Disesali


Pada saat aku memutuskan berhenti kerja, banyak mata yang memandangku dengan ekspresi yang berbeda.

Beberapa teman bilang, “Jadi ibu RT itu membosankan, kesepian, dan merana karena kehilangan kebebasan”.

Beberapa teman bilang, “Sangat menyedihkan untuk meninggalkan atribut kecantikan dan jadi wanita butek yang lupa berdandan karena sibuk mengurusi anak”

Beberapa teman bertanya, “Apakah memang suami kamu sanggup sendirian menunjang beban financial keluarga yang berat, apalagi dengan kenyataan anak akan bersekolah?”

Sejujurnya, aku sama sekali tak pernah memikirkan masalah penampilan, atribut-atribut, gengsi, dan lain-lain..yang kupikirkan apakah memang semua pengorbanan ini layak dan sepantasnya diberikan?Dan aku juga tau, sekali melangkah, tidak akan ada jalan untuk kembali lagi ke kondisi sebelumnya, take it and face it..never turning back.

Dan ternyata, keputusan ini memang tidak akan pernah disesali..

Melihat dan ada pada saat anak tumbuh dan berkembang memberikan kenangan tersendiri, menumbuhkan rasa cinta, meski terkadang kita lelah hati, frustrasi dan merasa tak mampu.

Zhose seperti mengambil role sebagai pelindung (the protector) dan Greg seperti penyembuh (the healer)..ketika aku sakit atau sedih, Zhose bertanya dan mencari cara supaya aku kembali sehat dan Greg berbaring bersamaku dengan pandangan mata tak berdosanya…how precious!

Ketika pembantu akhirnya pergi, dalam kelelahan bekerja, ketika anak-anak bangun, mencari mamanya dan menemukannya…senyum kebahagiaan yang terpancar itu adalah obat lelah yang tiada duanya.

Kepasrahan dan kepercayaan yang diberikan dengan tanpa dosa oleh anak kepada kita adalah harta dari Tuhan yang kadang kita tak paham nilainya. .ketika merasakan, baru kita mengerti, itupun kalau kita memilih untuk mengerti.


Cinta tidak pernah bisa digantikan dengan materi, cinta seringkali menyakitkan, melelahkan, tapi selalu memberi kekuatan yang membuat kita bangkit berdiri dari setiap keputusasaan.

Rabu, 01 Januari 2014

A Conservative Mom's New Year

Happy New Year 2014

While almost every mother in the world busy preparing new year’s eve party and celebration, I was doing the same thing I did everyday…waking up early, going to the market buying groceries, cooking, waking up and taking care of the children, clean up the house, doing the laundry.

We didn't have any particular plans for New Year’s Eve and I don’t think that it is necessary to look for one.

New Year is the time we take time to give thanks to the Lord for New Year, new hope and spirit that everything will go nice and smooth the year ahead. 

Poor Baby Jesus

Your birthday is a day celebrated by the whole world but it isn’t about You now..it’s about Mr. Santa and his gifts to the good behaved children, it’s about lavish party celebrated in every hotel around town, or it’s about gathering and exchanging presents among family and friends. Isn’t it ironic when Your day is not devoted to You but for somebody/something else?

After the day you were born, you soon be forgotten because everybody looking up ahead to New Year’s Eve for the next “fun” thing.

Poor Baby Jesus, forgive us…and please remind us to be humble like You..